Cross-Cultural Management

Komunikasi dan Manajemen Lintas Budaya

Salah satu dampak globalisasi adalah semakin tingginya tingkat intensitas interaksi manusia dari berbagai negara, bangsa, suku, dan bahasa. Anomali globalisasi adalah di satu sisi kita melihat betapa dunia tampak seperti semakin menjadi satu, atau yang biasa disebut-sebut sebagai suatu “global village”. Di sisi lain, kita juga semakin ter-expose dengan berbagai ragam budaya dari segala penjuru dunia. Jika kita bekerja dalam sebuah lingkungan internasional, meskipun teknologi sudah memungkinkan diadakannya rapat secara online dengan segala perangkat teleconference sehingga tidak lagi mengenal batas geografis, tetap saja kita akan menemui (meskipun secara maya) manusia-manusia dengan budaya dan cara berpikir yang majemuk.

Interaksi antar budaya dan peradaban ini sangat menarik untuk disimak dalam era yang semakin meng-global ini. Kita bisa lihat dengan jelas hegemoni budaya tertentu seperti budaya Anglo-Saxon, Eropa dan Amerika menjadi semacam hegemoni tersendiri dalam percaturan global. Bahasa Inggris tak bisa disangkal adalah lingua franca saat ini yang dipakai dalam negosiasi internasional, perdagangan lintas negara, literatur akademis, dan penghubung bangsa-bangsa yang berbeda bahasa –sekalipun bahasa Inggris bukan bahasa ibunya. Mode pakaian atau fashion juga praktis ditentukan oleh perkembangan budaya Eropa dan Amerika. Setelan jas dan dasi kini menjadi standar dimana saja seorang pria ingin tampil formal –terkadang sampai diadopsi membabi-buta tanpa memperhitungkan iklim di lokasi yang bersangkutan. Fenomena McDonaldization dimana makanan cepat saji a la Amerika menjamur di muka bumi ini juga tampaknya tidak terbendung. Ini semua adalah fenomena yang menarik dilihat dari sisi interaksi budaya yang dinamis, tanpa perlu kita mengernyitkan dahi untuk curiga akan teori konspirasi.

Globalisasi juga memberikan kesempatan yang lebih untuk bangsa-bangsa lain selain bangsa-bangsa yang selalu di-cap “barat” menunjukkan geliatnya. Dalam dekade terakhir ini paling tidak kita bisa melihat interaksi Cina atau Tiongkok dalam dinamika budaya global. Meskipun bahasa Inggris tetap dominan, tetapi bahasa Mandarin semakin lama semakin banyak dipelajari para pelaku bisnis, diplomasi, bahkan akademisi. Gaun wanita dengan gaya Tiongkok klasik kini semakin sering dilihat dipakai oleh wanita Amerika, Eropa, maupun Asia lain dalam acara-acara tertentu. Jauh sebelum era McDonaldization, di hampir setiap kota besar di dunia bisa ditemukan restoran Cina –entah itu dengan menjaga gaya masakan asli seperti szechuan atau kanton, atau sudah dilakukan diferensiasi pasar menyesuaikan dengan lidah setempat. Restoran-restoran Cina diluar Tiongkok yang meskipun tampak tradisional sudah mengenal konsep diferensiasi pasar ini jauh sebelum McDonald atau Kentucky Fried Chicken menawarkan menu-menu dengan selera lokal.

Perbedaan interaksi budaya Amerika dan Cina di budaya global ini adalah antara lain jika budaya Amerika menggeliat maka ada kesan “heboh”, glamour, dan high profile. Sementara meskipun memiliki pengaruh budaya yang sebenarnya setara atau bahkan lebih di tingkat global, pengaruh budaya Cina dirasakan lebih low profile. Salah satu efek pendekatan yang low profile ini terkadang adalah budaya lain menerima interaksi budaya itu bahkan menjadi sebuah asimilasi. Sampai saat ini jika kita mendengar, melihat, atau makan sebuah burger meskipun sudah semakin lazim, tapi kita tetap menganggap itu sebagai makanan asing. Sementara cap cay dan puyunghay tidak jarang disajikan sebagai menu Indonesia – di restoran atau warung makan khas Indonesia sekalipun.

Lantas apa yang membuat perbedaan interaksi budaya ini? Mengapa meskipun sama-sama dominan tetapi pendekatannya berbeda sama sekali?

Makanan, cara berpakaian, dan bahasa hanyalah segelumit dari elemen-elemen yang membentuk sebuah budaya atau peradaban. Elemen terbesar yang justru memiliki pengaruh kepada elemen-elemen lain adalah watak atau cara berpikir. Manajemen lintas budaya (cross-cultural management) yang sejati adalah bagaimana mengelola perbedaan cara pikir dan cara pandang yang beragam. Manajemen lintas budaya yang hanya mengelola tatanan fisik seperti apresiasi makanan, tradisi, dan bahasa tidak akan menghasilkan hasil optimal dari sebuah kelompok yang multi-kultur.

Satu hal teramat penting yang perlu disadari para manajer dan siapapun yang berhadapan dengan keadaan lintas budaya adalah manajemen lintas budaya bukan berarti menyatukan cara pikir dan cara pandang. Dengan begitu justru kita menegasikan keunggulan keragaman budaya dan keragaman berpikir. Sesuai namanya, manajemen lintas budaya adalah mengelola keragaman ini. Ketika kita bekerja dengan orang Amerika dan Eropa, kita perlu paham cara berpikir mereka yang memang jauh lebih individualis daripada kita. Mereka juga memerlukan lebih banyak kepastian dalam bekerja (uncertainty avoidance) dan antara atasan dengan bawahan dianggap lebih setara (power distance) dibandingkan dengan budaya Asia. Seorang pakar cross cultural management bernama Geert Hofstede telah mencoba merangkum beragam budaya di dunia dalam beberapa dimensi seperti tersebut tadi.

Tetapi perlu diingat dalam interaksi budaya, pemahaman mutual alias saling memahami adalah sangat penting. Kita perlu paham mereka dan mereka pun perlu paham kita. Disini saling memahami tidak serta merta saling mengikuti. Setiap budaya niscaya akan menjaga identitasnya. Penyesuaian memang akan dibutuhkan tetapi bukan berarti individu dari budaya yang satu perlu berubah total menjadi budaya yang lain.

Dengan kita memahami bahwa budaya lain memang lebih individualis dan menonjolkan merit individu maka kita tidak perlu tersinggung ketika seorang Amerika dalam rapat tampak ingin mendominasi pembicaraan dan menonjolkan keahlian dirinya. Demikian pula orang berbangsa lain jangan menganggap seorang Indonesia yang diam saja dalam rapat sebagai tidak berpendapat atau tidak tahu apa-apa: semata-mata ia hanya menunggu giliran bicara atau sungkan.

Bagaimana setiap individu mengkomunikasikan budayanya akan sangat berperan dalam pemahaman dan penerimaan orang lain terhadap budayanya tersebut. Komunikasi disini tentu adalah komunikasi holistik yang mencakup segala lini interaksi dengan individu lain. Tidak hanya sekedar melalui obrolan oral, tetapi juga bahasa tubuh, penulisan email, tingkah laku dalam rapat, tata cara makan, dan segala sesuatu yang dapat dilihat orang lain adalah bentuk komunikasi kita dan budaya kita.

Ketika kita bicara globalisasi maka tampak wajar kalau kita bicara interaksi antar budaya Cina, Amerika, India, Indonesia, dan seterusnya. Kalau kita “mundur” satu langkah, prinsip-prinsip manajemen lintas budaya juga sangat berlaku dalam konteks interaksi budaya antar suku-suku di Indonesia. Budaya Spanyol dengan budaya Inggris, Jerman, dan Belanda misalnya, dianggap sebagai empat budaya yang berbeda dan interaksi diantaranya sudah dianggap sebagai subyek cross cultural management. Padahal, budaya Aceh dengan budaya Batak, Jawa, dan Dayak juga adalah empat budaya yang berbeda dimana jarak geografis dan populasinya sebanding dengan empat negara Eropa tadi.

Ironisnya, seorang manajer yang piawai berinteraksi di tingkat internasional dan bisa mengelola team atau kelompok multi-kultur, belum tentu bisa piawai mengelola an all-Indonesian team yang terdiri dari orang-orang dari beragam suku. Dan ketika team atau kelompok orang-orang Indonesia itu gagal maka tak jarang kegagalan itu diatribusikan kepada “ah memang dasar orang Indonesia” –padahal bisa jadi murni karena kekurangpahaman kita terhadap budaya, cara pikir, dan cara pandang saudara-saudara dari suku lain. Salah satu kekurangan Hofstede adalah mengklasifikasikan budaya Indonesia sebagai satu budaya dalam dimensi-dimensi budaya.

Pekerjaan rumah kita bersama adalah mencoba menggali, mempelajari, dan memahami keragaman budaya ini untuk menjadi dasar komunikasi dan manajemen lintas budaya Indonesia. Rekan-rekan antropolog dan sosiolog pasti memiliki referensi dan kepakaran di bidang ini yang perlu kita sinergikan dan aplikasikan dalam dunia komunikasi dan bisnis.

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika memiliki dua elemen yaitu perbedaan dan kesatuan. Jangan kita menafikan perbedaan dengan hidup dalam ilusi bahwa terdapat satu budaya Indonesia, tetapi let’s cherish and manage the differences. Rule of thumb setiap kali kita berinteraksi dengan budaya-budaya yang berbeda adalah: it’s not right, it’s not wrong, it’s just different.

This entry was posted in Business & Society, Miscellaneous and tagged , , . Bookmark the permalink.
  • Byline

    Michael is a professional leader in the fields of energy investments, complex commercial deals, and sustainability with extensive international experience. His personal interests span from socio-political issues, history, and culture.