Ilustrasi Soeharto dan “The Last Supper”

Perlukah Tempo Minta Maaf?

Sungguh santun dan besar hati seorang Toriq Hadad, pemimpin redaksi Majalah Tempo ketika meminta maaf kepada umat Kristiani sehubungan dengan penerbitan gambar sampul edisi no. 50/XXXVI/04 tanggal 10 Februari 2008. Pada sampul edisi yang memuat laporan khusus wafatnya Soeharto tersebut diilustrasikan sang mantan Presiden duduk bersama keluarganya mirip dengan lukisan “Il Cenacolo” atau “L’Ultima Cena” alias “The Last Supper” karya maestro Leonardo da Vinci.

Spontan datanglah sejumlah keberatan terutama dari umat Kristen terhadap ilustrasi tersebut. Mereka merasa terusik atau bahkan tersinggung ketika sesuatu yang dianggap sebagai simbol penting keagamaannya di”pelintir” untuk merepresentasikan kekerabatan keluarga paling berkuasa dan kontroversial di tanah air. Apalagi ketika keluarga tersebut disinyalir melakukan korupsi besar-besaran dan sang kepala keluarga dituduh melakukan pelanggaran HAM berat – kualitas-kualitas yang bertolak belakang dengan kelakuan Yesus dan para rasul serta ajaran Kristiani (dan agama manapun juga).

Sebenarnya di balik ini semua, kalau kita mau merenung sejenak, kita perlu berbangga bahwa proses penyampaian pendapat di negeri ini sudah jauh lebih baik. Bahwa kreativitas seorang perancang sampul bias dimuat tanpa harus khawatir pencabutan izin penerbitan dan pemberitaan tentang Soeharto bisa terbuka adalah langkah maju yang pesat dibanding sepuluh tahun lalu. Terlebih lagi, bahwa masyarakat dari berbagai golongan sudah bisa menyampaikan keberatan terhadap sebuah publikasi dengan bebas juga adalah indikator yang membesarkan hati – meskipun jelas masih banyak pekerjaan rumah untuk sungguh-sungguh menjamin kebebasan semua golongan.

Tersinggung atau tidak adalah hak individu. Siapapun dengan kepercayaannya, pengetahuannya, pengalamannya, dan alam pikirannya masing-masing berhak memilih untuk tersinggung atau tidak terhadap suatu peristiwa.

Jadi wajar saja jika organisasi seperti Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia melayangkan keberatan, terutama dengan label “Katolik” yang disandangnya. Syukurlah label intelektual “Mahasiswa” dibuktikan juga dengan menyatakan keberatan melalui dialog dan bukan demonstrasi anarkis sambil merusak gedung redaksi. Semoga label “Indonesia” yang juga mereka usung tetap diperhatikan dengan memberikan fokus pergerakan pada pembangunan Indonesia yang lebih luas dan nyata.

Apapun interpretasi orang terhadap sampul majalah Tempo itu, kita bisa cukup yakin bahwa tidak ada intensi buruk dibalik kreativitas desain tersebut apalagi maksud untuk menghina kepercayaan umat Kristiani. Kita perlu memilah mana hal-hal substansi kepercayaan serta iman dan mana hal-hal dekoratif simbolis dalam sebuah kebudayaan agama.

Tempo tidak menyinggung upacara Perjamuan Terakhir Yesus. Tempo juga tidak memanipulasi kisah di Injil Yohanes (13:21) yang diduga menjadi inspirasi Leonardo dalam melukis “Il Cenacolo”. Redaksi majalah itu juga tidak menyentuh apalagi mempersoalkan makna spiritual-religius pemecahan roti dan pembasuhan kaki yang diimani terjadi pada Perjamuan Terakhir.

Si perancang sampul hanya membuat parodi terhadap sebuah lukisan – sebagaimana sering kita lihat lukisan Da Vinci yang lain, Monalisa, sering diganti-ganti wajahnya dengan konyol. Pose-pose patung Michelangelo seperti “David” juga sering dijadikan bahan parodi. Banyak hal-hal lain sekitar kita yang ditampilkan secara parodi untuk menyampaikan sebuah pesan dan bukan untuk menghina.

Banyak pesan menarik yang justru bisa kita tarik dari ilustrasi Tempo itu. Analogi yang digunakan bahkan sangat cocok untuk ukuran tertentu. Misalnya, Perjamuan Terakhir alkisah adalah pertemuan fisik terakhir antara Yesus dengan para rasul menjelang waftnya Sang Almasih di kayu salib. Demikian pula Soeharto pun dikelilingi anak-anaknya menjelang sakratul maut – tentu dekorasi adegan di RSPP lebih bernuansa kamar rumah sakit dengan infus daripada meja makan dan jubah dari rumah mode dua ribu tahun silam. Analogi kedua adalah gambaran tentang betapa berpengaruhnya kedua tokoh itu (Yesus dan Soeharto) dan pengikutnya dalam kehidupan masyarakat. Sudah pasti skalanya sangat sangat berbeda – tetapi pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar dan Menengah menjelaskan gaya penyampaian pesan macam ini sebagai “hiperbola”, dan ini sah-sah saja.

Aplikasi lain dari pelajaran bangku sekolah dulu adalah majas ironi yang bermaksud menyindir dengan mengutarakan hal yang sangat bertentangan. Dalam aspek ini justru ilustrasi Tempo sangat tepat menyampaikan pesannya yaitu bahwa ajaran yang ditinggalkan oleh Yesus alias Isa adalah cinta kasih, peduli terhadap sesama, menjunjung keadilan dan persamaan hak, dan seterusnya. Sementara keluarga Soeharto dipersepsikan identik dengan korupsi, timbunan harta, pelanggaran hak asasi, penculikan, kekerasan, dan sebagainya.

Kiranya iman umat Kristiani dan umat beriman lainnya (beriman tidak sama dengan beragama) jauh lebih mendalam ketimbang interpretasi sebuah karya seni buatan manusia. Umat beriman tidak akan mudah tersinggung ketika karya manusia dijadikan anekdot, sebab iman mereka bersumber dari Yang Maha Illahi dan bukan sekedar ikon dekoratif – karya seorang maestro sekalipun.

Selamat menjalankan pantang dan puasa bagi seluruh umat Katolik.

Rotterdam, Rabu Abu 2008,
Michael C. Putrawenas

This entry was posted in Indonesia and tagged , , , . Bookmark the permalink.
  • Byline

    Michael is a professional leader in the fields of energy investments, complex commercial deals, and sustainability with extensive international experience. His personal interests span from socio-political issues, history, and culture.

  • From the Archives

    Tanggung Jawab Konglomerat atas Masyarakat dan Lingkungan

    Jumlah kekayaan sebesar puluhan trilyun bagi hampir seluruh penduduk Nusantara adalah bagaikan dongeng. Tapi paling tidak bagi mereka yang memilikinya semoga mereka juga mencamkan nasihat dongeng mutakhir Spider-Man, “With great power comes great responsibility”, tanggung jawab besar menyertai kekuasaan yang besar…