Bravo Sinema Nasional!

Berbeda memang rasanya menonton film-film Indonesia di bioskop luar negeri. Entah itu karena nasionalisme instan akibat rindu tanah air atau semata sentimen sesaat, tapi yang pasti dua karya sineas nasional, “Gie” dan “9 Naga”, yang diputar di Festival Film Rotterdam layak mendapat acungan jempol. Ternyata pendapat semacam itu cukup merata di kalangan penonton lain. Ketika panitia festival film dari mancanegara di Belanda ini membuat angket, peringkat kedua film layar lebar Indonesia itu pun cukup lumayan.

Berdasarkan pengamatan kasar, pada setiap pemutaran sekitar tiga puluh persen penonton adalah orang Indonesia yang sedang merantau, sementara sisanya adalah bule. Memang sering penonton mayoritas tersebut hanya tersenyum simpul ketika kami, orang Indonesia, tertawa terbahak-bahak pada beberapa adegan kocak. Pelafalan kata-kata dan penggunaan istilah tertentu bagi kita yang paham jauh lebih lucu ketimbang mereka yang hanya membaca teks bahasa Inggris.

Pengangkatan Realitas

Tapi bukan cuma kelakar dan guyonan yang kita, orang Indonesia, lebih paham daripada orang lain ketika menonton kedua film itu. Terlepas dari segala kekurangannya, kita seharusnya paham pula realitas yang diangkat. Realitas bahwa sejarah ditulis oleh kekuasaan, realitas bahwa idealisme kerap dikorbankan, realitas kekerasan hidup, dan segudang potret nyata bangsa ini.

Bagi segolongan kecil rakyat Indonesia yang memiliki kuasa ekonomi dan/atau politik, banyak diantara realitas itu berakhir seiring dinyalakannya lampu bioskop pertanda pemutaran film sudah selesai. Tapi bagi kebanyakan, realitas itu mereka hadapi sebelum skenario apapun dibuat dan entah sampai kapan.

Penggambaran pemukiman rakyat urban di “9 Naga” yang sangat sempit, berdebu, dan compang-camping jauh lebih mengena ketimbang sinetron yang sering menampilkan rumah megah, mengkilat, dan mentereng lengkap dengan kolam renang. Kesenjangan dan kegagalan sistem sosial di negara ini memang banyak membatasi pilihan insan-insan manusia hingga menjadi kriminal –kriminal yang sebenarnya tetap memiliki nurani. Cinta pun ditantang untuk menunjukkan bentuknya yang murni dan bukan cinta segitiga murahan yang cengeng.

Sementara harga sebuah idealisme dan mewahnya sebuah pemikiran diangkat dalam film “Gie”. Realita yang disitir memang kekuasaan sering mengalahkan idealisme dan betapa salah-benar sungguh menjadi relatif. Saat ini pun banyak pemuda-pemudi Indonesia yang memiliki idealisme tersebar dimana-mana. Anda mungkin menjumpainya di bus kota, di tempat jajanan, atau bahkan teman sekelas Anda dulu. Sering apresiasi terhadap idealisme mereka masih kurang bahkan dilecehkan. Nama Soe Hok Gie dan pemikirannya pun sangat jarang didengar apalagi pasca generasi 1965. Film ini sendiri sebenarnya bisa merupakan langkah awal bangsa ini untuk mulai menghargai pahlawan dan tokoh pemikir nasional lainnya.

Layar Kaca?

Judul tulisan ini adalah Bravo Sinema Nasional karena sejak beberapa tahun lalu mulai pelan-pelan muncul film-film Indonesia dengan tema yang lebih realistis. Tidak lagi melulu kita disuguhkan dengan sinema Indonesia yang menggambarkan rumah megah, mobil mewah, kehidupan eksekutif, dan sejenisnya. Penikmat film mulai sedikit di-melek-kan dengan keadaan Indonesia yang sebenarnya, bahwa masih banyak tantangan yang perlu kita hadapi bersama.

Semoga saja fenomena ini tidak berhenti di layar lebar tapi juga merasuk ke layar kaca yang justru lebih banyak menjangkau rakyat Indonesia. Imbangi sinema-sinema kaca yang membombardir mereka dengan mimpi kemewahan dan hidup sempurna. Berikan pilihan ketimbang tema semacam itu dan telenovela ataupun cerita-cerita hantu. Suguhkan reality show dalam artian yang sebenar-benarnya.

Untuk mewujudkan itu perlu dukungan banyak pihak. Semoga saja belum terlambat, bisa jadi saat ini pemirsa sudah terbuai oleh mimpi-mimpi yang dijual banyak sinetron sehingga demand untuk tema semacam yang diangkat “Gie” dan “9 Naga” masih rendah. Tapi justru disini letak tanggung jawab moral stasiun-stasiun televisi dan pemilik modal rumah-rumah produksi. Tentu sebagai perusahaan tujuan pertama mereka adalah mencetak keuntungan dan tidak ada yang salah dengan itu. Meskipun demand rendah, film-film berbobot tetap dapat dipasarkan. Dalam terminologi pemasaran modern, dikenal push dan pull marketing. Ketika demand masih rendah, push marketing perlu dilakukan. Produksilah dan buatlah sinema-sinema yang mendidik dan menghibur, lalu doronglah itu semua kepada pemirsa. Apalagi untuk pasar Indonesia yang kita kenal mudah sekali terbawa arus –mari kita buat arus ke hilir yang mendidik. Simbiosis dunia bisnis dan pendidikan massa justru bisa tercapai melalui cara seperti ini.

Cukup sudah masyarakat terbuai dalam mimpi kosong, saatnya kini kita terbangun dari tidur siang tatkala tantangan nyata ada di depan mata. Media informasi seharusnya adalah kaca pembesar tantangan-tantangan tersebut dan bukan pengalun nina bobo. Bangun!

This entry was posted in Editorial, Indonesia. Bookmark the permalink.
  • Byline

    Michael is a professional leader in the fields of energy investments, complex commercial deals, and sustainability with extensive international experience. His personal interests span from socio-political issues, history, and culture.

  • From the Archives

    Part 3: Looking Back at the Preparation

    Like any trip to the wilderness, good preparation counts for over half of the success of the expedition. Preparing for this trip brought some sense of deja-vu to the times when I was in the mountainering club in my high school in Jakarta many years ago. The difference is that I always went to somewhere in the tropics, and I was quite a few kilograms less back then. Fortunately this trip will not be as physically demanding compared to the mountaineering trips I did (I surely hope I am right on this).