Corporate Social Responsibility

Bukan Amal, Bukan Bonus!

Menarik sekali menyimak dua pejabat tinggi negeri ini bicara tentang tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR). Lebih menarik lagi ketika kedua pejabat itu berlatar belakang bisnis yang sangat kental.

KompasCyberMedia pada hari Rabu (26/4) mengutip beberapa potongan sambutan dan komentar dari Wapres Jusuf Kalla dan Menko Kesra Aburizal Bakrie tentang CSR. Diantaranya adalah bahwa CSR bukanlah tanggung jawab perusahaan melainkan sebuah “tambahan” perhatian kepada warga sekitar. Seandainya saja beliau mengutip dari mana definisi yang diuraikan itu, atau atas dasar apa definisi tersebut muncul.

Para akademisi dan pakar manajemen dunia yang mendalami CSR saja masih berkutat mendefinisikan secara tepat pemikiran tentang tanggung jawab sosial perusahaan. Meski begitu, konsensus yang berkembang tidak ada yang mengarah kepada pemahaman CSR sebagai sebuah “bonus” atau “ tambahan” yang diberikan perusahaan kepada masyarakat sekitar. Kajian para pakar seperti Michael Porter sampai dengan tinjauan badan dunia seperti United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) malah mengerucut menjadikan CSR sebagai pilihan strategis perusahaan yang selaras dengan bisnis mereka.

Pertanyaan retorik dari Wapres yang mengatakan “bagaimana mungkin perusahaan bisa maju dan berkembang sementara masyarakat sekitarnya tetap miskin” sebenarnya merupakan tantangan untuk pemerintah sendiri. Pemerintah bertanggung jawab memajukan kesejahteraan rakyat dan mecerdaskan kehidupan bangsa. Diantaranya termasuk dengan menjamin keamanan berusaha untuk menggerakkan roda ekonomi. Perusahaan kemudian bertanggung jawab memberdayakan keamanan investasi dengan mengelola usahanya dengan memperhatikan nilai-nilai kesinambungan (sustainability). CSR tidak berarti bahwa perusahaan berkewajiban menyejahterakan rakyat sekitarnya secara langsung. Perusahaan tidak memiliki kapasitas maupun mandat untuk itu. Perusahaan bukan pemerintah dan bukan pula yayasan sosial. Ketiga institusi tersebut memiliki perannya masing-masing dalam memajukan perikehidupan masyarakat.

Malahan ketika manajemen sebuah perusahaan menghamburkan uang untuk program filantropis yang tidak relevan dengan strategi perusahaan dan tidak dapat dievaluasi return on investment-nya, maka itu adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab atau inkompetensi manajemen. Manajemen perusahaan mengelola dana para investor dan pemegang saham, dan setiap pengeluaran harus bisa dipertanggungjawabkan untuk kepentingan investasi. Analogi ini persis sama dengan pertanggungjawaban pengurus dana sosial kepada para donatur untuk kepentingan sosial, dan juga pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyatnya. Terkadang niat baik manajemen perusahaan untuk melakukan “CSR” yang kebablasan atau filantropi pribadi dengan menggunakan dana investor justru malah mengaburkan arti CSR itu sendiri dan malah bisa menjadi mis-manajemen.

Meski demikian, Wapres ada benarnya ketika mengatakan CSR jangan dianggap sebagai beban biaya tambahan melainkan sebagai investasi. Justru karena CSR adalah investasi, pemilihan strategi CSR tidak bisa sembarang tetapi sesuai dengan strategi dan tujuan perusahaan. Tujuan utama sebuah perusahaan tidak dapat dipungkiri adalah untuk mencetak keuntungan. Laba tersebut adalah kontribusi utama korporasi bagi masyarakat dan negara dengan menggerakkan roda ekonomi, entah melalui pajak, pembayaran gaji, belanja perusahaan dan seterusnya. CSR bukan pula sebuah tujuan ataupun prioritas kedua setelah pencetakan laba, melainkan merupakan cara bagaimana perusahaan mencetak laba. Jadi laba dan CSR tidak perlu bertolak belakang ataupun yang satu menegasikan yang lain, melainkan berjalan seiring demi kesinambungan laba, kehidupan sosial, dan kelangsungan alam.

Membayar pajak bukanlah CSR seperti yang diutarakan Aburizal Bakrie. Membayar pajak dengan benar adalah kewajiban hukum yang tidak bisa ditawar -titik. Demikian pula halnya dengan pengolahan limbah, keselamatan kerja, dan pergantian rugi yang layak akibat kelalaian perusahaan. Contoh CSR yang strategis adalah perekrutan tenaga lokal, pendirian institusi pelatihan yang relevan, dan pengelolaan sumber daya alam yang berkesinambungan –terlepas dari ada / tidaknya produk dan penegakan hukum. Perusahaan yang membina dan meningkatkan kualitas karyawannya berarti menjalankan peran dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia secara professional. Membangun sekolah dasar atau menengah adalah tugas pemerintah, bukan perseroan. Perusahaan bertanggung jawab membayar pajak kepada Negara dan pemerintah bertanggung jawab mengelola dana pajak untuk antara lain membangun sekolah dasar. Tumpang-tindih tanggung jawab yang kita buat sendiri malah mengacaukan sistem dan mengaburkan akuntabilitas yang sebenarnya.

Jangan sampai kita terus menerus terjebak dan terbolak balik di negara ini dimana kerusakan yang diakibatkan operasi sebuah perusahaan pertambangan malah ditanggung Negara sementara tanggung jawab negara menyejahterakan rakyat malah dilimpahkan kepada perusahaan. Hendaknya baik pejabat pemerintah dan aktor swasta memahami betul peran dan tanggung jawab masing-masing secara profesional. Sah-sah saja tokoh bisnis menjadi negarawan karena setiap warga Negara memiliki hak politik yang setara. Tapi mari kita pahami perbedaan kewajiban setiap elemen untuk mencegah distorsi tanggung jawab.

Rotterdam, 26 April 2007
Michael C. Putrawenas

This entry was posted in Business & Society, Editorial and tagged , , . Bookmark the permalink.
  • Byline

    Michael is a professional leader in the fields of energy investments, complex commercial deals, and sustainability with extensive international experience. His personal interests span from socio-political issues, history, and culture.

  • From the Archives

    Notes from Philadelphia Convention 1787

    The following fictional newspaper articles depicts the fundamental differences between Virginia and New Jersey Plan that became the main issues during Philadelphia Convention in 1787. This convention may well be one of the early pillars of modern democracy.