Indonesia dalam Komunikasi Global

Joseph Stiglitz, pemenang Nobel di bidang ekonomi tahun 2001 dan juga penulis buku ”Globalization and Its Discontents” tahun ini kembali menuliskan kritik dan masukannya untuk membenahi mekanisme globalisasi sehingga dapat menyejahterakan umat manusia, terutama yang paling miskin dalam buku “Making Globalization Work”.

Dalam buku tersebut Stiglitz menjelaskan salah satu masalah dalam globalisasi saat ini adalah ”democratic deficit” dimana kepentingan sekelompok kecil lebih dominan daripada kepentingan orang banyak. Pada tingkat forum-forum dunia, representasi kepentingan ratusan juta jiwa memang sering dikalahkan oleh kepentingan kelompok-kelompok tertentu.

Keadaan ini membuat kita bertanya mengapa terjadi seperti itu? Tentu akan ada segudang jawaban dari mulai kekuatan ekonomi, politik, intelektual, bahkan sampai yang berbau teori konspirasi. Seringkali jika hal ini dibahas dalam bidang ekonomi atau politik hasilnya adalah analisa rumit yang bersifat makro.

Kalau dilihat dari segi komunikasi, sebenarnya terdapat kesempatan besar bagi para praktisi komunikasi untuk membantu mengatasi democratic deficit, yaitu dengan mengkomunikasikan materi yang tepat kepada audience yang tepat pula. Banyak negara dan organisasi internasional yang sebenarnya memperjuangkan kepentingan orang banyak kurang efektif atau bahkan keliru dalam mengkomunikasikan pesan-pesan mereka. Intensi dan materi yang kuat saja tidak cukup, perlu teknik komunikasi yang baik untuk dapat menyampaikan pesan supaya diperhatikan.

Teknik komunikasi pun perlu dipilih sesuai target pemirsanya. Misalnya dalam bidang konservasi lingkungan, Greenpeace yang tidak ragu untuk melakukan tindakan ekstrim seperti blokade dan demonstrasi memiliki teknik yang berbeda dengan World Wildlife Fund yang mengusung logo panda-nya yang digambarkan lembut dan simpatik. Kedua organisasi ini menarik minat komunitas yang berbeda tapi dengan tujuan yang sama. Pesan-pesan yang mereka sampaikan pun jelas tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup dan keseimbangan ekosistem.

Pemilihan materi dan teknik komunikasi supaya didengarkan oleh orang tidak hanya terbatas pada organisasi atau korporasi, tapi juga pada tingkatan negara (yang lebih banyak dilakukan oleh perangkat pemerintah) dan bangsa (bisa dilakukan siapa saja seperti individu, komunitas, organisasi, atau perusahaan yang beridentitaskan bangsa terkait).

Harus kita akui bahwa Indonesia saat ini masih relatif kurang terdengar apalagi didengarkan dalam komunikasi global. Tulisan ini akan mencoba menyentuh empat materi yang dapat dikomunikasikan kepada dunia dengan lebih intensif dan proaktif tentang Indonesia, yaitu pariwisata, penduduk, demokratisasi, dan ekologi (tentu masih banyak hal lain yang tidak kalah penting untuk dikomunikasikan dengan baik).

Cara kita mengkomunikasikan potensi pariwisata nusantara di tingkat dunia perlu banyak dibenahi. Jika tidak dilakukan sesuatu segera, maka masyarakat dunia (setidaknya pemirsa BBC World News, CNN, Discovery Channel) akan jauh lebih mengenal Malaysia sebagai negara yang “truly asia” dan sumber kesenian wayang, batik, alam tropis yang asri, keragaman etnik, dan berbagai tarian yang lebih banyak variasinya di Indonesia.

Kemudian tentang penduduk; seberapa sadarkah orang –termasuk kita sendiri– akan besarnya jumlah penduduk Indonesia? Angka 220 juta jiwa mungkin banyak yang tahu, tapi lebih sedikit yang sadar betapa besar angka itu sebenarnya. Berdasarkan populasi, kita adalah negara terbesar ke-empat di dunia! Imajinasikan saja kalau diadakan pemilihan umum tingkat dunia, maka Indonesia akan menjadi distrik utama untuk diperebutkan. Apalagi kalau diperkecil misalnya pada tingkat ASEAN, jumlah penduduk Indonesia adalah setengah penduduk di kawasan. Tapi apakah kebesaran Indonesia ini sudah dikomunikasikan dengan baik? Apakah kalau Indonesia mengeluarkan pernyataan atau sikap sudah didengarkan selayaknya negara dengan 220 juta jiwa?

Demokrasi di Indonesia pun sangat patut dikomunikasikan lebih intensif dan proaktif oleh kita sendiri. Setelah pemilu tahun 2004, majalah The Economist menurunkan berita tentang pemilu Indonesia yang berlangsung relatif damai sebagai berita utama. Harian International Herald Tribune di bulan November 2006 ini pun menyebut Indonesia sebagai contoh demokrasi raksasa di Asia Tenggara, apalagi setelah kudeta militer di Thailand. Pada era orde baru kita sering dikritik habis-habisan tentang pelaksanaan demokrasi – tapi kini setelah semuanya jauh lebih demokratis, berita dan kesadaran tentang perbaikan demokrasi seakan-akan tenggelam di tengah berbagai masalah lainnya.

Topik yang kini sangat penting di tingkat internasional dimana Indonesia perlu lebih mengkomunikasikan potensinya adalah dalam bidang ekologi dan keseimbangan alam. Amazon boleh jadi hutan tropis terbesar, tapi kalau seluruh hutan di Sumatra, Kalimantan, Papua, dan pulau-pulau lain digabung maka akumulasi luas hutan Indonesia teramat besar. Ditengah maraknya kekhawatiran akan pemanasan global, dunia sedang mencari pemecahan atau setidaknya pencegahan yang efektif. Hutan-hutan di Indonesia menyimpan jawabannya, tinggal bagaimana kita mengemas teknik komunikasi yang baik.

Empat hal tersebut (pariwisata, penduduk, demokratisasi, dan ekologi) hanyalah sekelumit materi yang perlu dikomunikasikan lebih baik secara global untuk membuat Indonesia lebih didengar. Pertanyaan berikutnya adalah siapa yang harus mengkomunikasikannya?

Departemen Luar Negeri (Deplu) bisa dikatakan adalah komunikator formal negara di percaturan internasional. Para diplomatlah yang duduk dalam berbagai forum resmi dibalik bendera merah-putih. Mereka pula yang mengatasnamakan 220 juta manusia Indonesia dalam negosiasi dengan negara lain. Mengamati Departemen yang satu ini, kita melihat ada beberapa shining stars yang sebenarnya sanggup menjadi komunikator ulung tingkat dunia –meskipun bukan berarti tanpa kekurangan.

Namun, diplomasi dan komunikasi global sebuah bangsa kini bukan lagi monopoli Deplu sebagai aktor tunggal. Aktor-aktor lain dalam bangsa itu sendiri juga perlu melibatkan diri. Perusahaan-perusahaan nasional melalui operasinya di luar negeri atau hubungan dagang atau iklannya di media internasional juga merupakan bagian dari komunikasi bangsa. Tokoh-tokoh masyarakat yang pemikirannya diakui dunia dan para seniman yang karyanya dinikmati pecinta seni internasional juga adalah komunikator Indonesia.

Sebagaimana layaknya sebuah perusahaan, meskipun strategi komunikasi formal dirumuskan dan dilaksanakan di tingkat atas, akan tetapi setiap anggota perusahaan adalah komunikator organisasi dalam konteksnya masing-masing. Demikian pula dengan Komunikasi Indonesia, pemerintah perlu memiliki strategi komunikasi global yang komprehensif (misalnya melalui Deplu), tetapi siapa saja yang memiliki kesempatan berinteraksi dengan pihak luar adalah komunikator Indonesia.

Untuk membangun landasan dan jaringan yang kuat sehingga berbagai elemen pemerintah dan masyarakat bisa saling mendukung dalam mengkomunikasikan Indonesia di tingkat dunia, diperlukan komunikasi internal yang baik. Komunikasi internal akan memungkinkan sinergi yang produktif untuk menyampaikan materi komunikasi yang solid.

Rotterdam, November 2006
Michael C. Putrawenas

This entry was posted in Business & Society, Indonesia and tagged , , , . Bookmark the permalink.
  • Byline

    Michael is a professional leader in the fields of energy investments, complex commercial deals, and sustainability with extensive international experience. His personal interests span from socio-political issues, history, and culture.

  • From the Archives

    Part 2: Antarctic Trivia

    This post is really just some random trivia about Antarctic that I found interesting. Just to be clear, Antarctic is the one in the south. Arctic is the one in the north.