Miskonsepsi Kepahlawanan

Pahlawan dan Sejarah pun Butuh Humas!

Seandainya saja tulisan ini langsung dimulai dengan idiom “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya” maka bisa dipastikan banyak pembaca akan mendecak bosan dan berpikir klise. Semua orang sudah tahu idiom itu dan hampir tidak ada yang menyangkal kebenarannya. Yang banyak orang belum tahu adalah bagaimana dan siapa yang seharusnya membuat sebuah bangsa menghargai sejarahnya sehingga dapat menjadi bangsa yang besar. Lagi-lagi tentu jawaban klise berikutnya adalah seluruh komponen masyarakat yang didukung pemerintah terutama sektor pendidikan.

Pertanyaannya kemudian apakah itu efektif? Apakah setelah sekian dekade kurikulum sejarah melahirkan generasi-generasi yang menghargai sejarah secara tulus? Apakah setelah sekian juta upacara bendera digelar menjadikan rakyat sungguh-sungguh hormat kepada Sang Saka? Kita sekarang perlu pendekatan yang lain dalam konteks pemasyarakatan sejarah, apalagi kini kita sudah tidak terlalu dikekang seperti zaman orde baru. Pendekatan macam apa itu? Pendekatan humas alias public relations (PR)!

Dedengkot ilmu PR, Edward Bernays di awal abad ke-20 sudah menggunakan berbagai cara implisit untuk mempengaruhi pola pikir dan sikap masyarakat Amerika waktu itu. Dari mulai siaran pers, kegiatan-kegiatan manipulatif, sampai intrusinya menyusupkan pesan-pesan melalui film. Metode-metode PR klasik semacam itu dinilai efektif dan terus ditiru oleh praktisi-praktisi humas setelahnya.

Sadar atau tidak, direncana atau tidak, metode-metode PR yang elegan tersebut berhasil membangun kebanggaan dan penghargaan bangsa Amerika pada para pahlawan dan sejarahnya. Lihat saja berapa ratus atau bahkan ribuan film Hollywood sepanjang masa yang mencuplik unsur sejarah di dalamnya. Bagaimana mereka tidak menghargai Abraham Lincoln jika terus digambarkan sebagai seorang Presiden yang berwibawa di banyak film. Siapa orang Amerika yang tidak kenal Martin Luther King, Jr? Bahkan meskipun tidak dijadikan tokoh utama, sering pahlawan-pahlawan Amerika sekilas ditampilkan di banyak layar lebar. Kalau banyak orang Amerika minimal bisa melafalkan kalimat-kalimat dari John F. Kennedy atau Martin Luther King, seberapa banyak orang Indonesia yang bisa melafalkan secuil saja perkataan Soekarno? Padahal beliau adalah orator ulung kelas dunia pada zamannya.

Penggambaran atau pencitraan kita terhadap para pahlawan bangsa juga tidak jarang terlalu sempit. Soekarno lebih sering dikenal sebagai Proklamator dan Presiden pertama, sementara karakter dan pemikirannya tidak banyak yang tahu. Kebesaran hatinya yang tidak pernah mencela Belanda dalam pidato-pidatonya jarang sekali diungkap, misalnya. RA Kartini selalu digambarkan ’hanya’ sebagai pahlawan emansipasi wanita, padahal sebenarnya pemikiran Raden Ajeng yang satu ini sangat revolusioner menembus batas zaman, pemikirannya bahkan banyak yang mendahului pergerakan nasional menuju Indonesia merdeka.

Hal lain yang juga perlu kita perhatikan adalah betapa seringnya jajaran pahlawan nasional yang paling umum adalah pahlawan perang. Cut Nyak Dien, Jenderal Soedirman, Pangeran Diponegoro, Pattimura, Sisingamangaraja, Sultan Agung, dan Tuanku Imam Bonjol adalah langganan utama jika seorang Indonesia diminta menyebutkan nama-nama pahlawan. Jauh lebih sedikit orang yang akan secara spontan menyebut Abdul Muis, Cipto Mangunkusomo, Sam Ratulangi, Walanda Maramis, atau WR Soepratman yang tidak menggunakan bedil atau bambu runcing dalam melawan penindasan tapi menggunakan pena, biola dan buah pemikiran.

Apakah ini berarti bangsa kita lebih menghargai perjuangan kekerasan daripada perjuangan intelektual? Semoga saja tidak. Keduanya jelas sangat penting dalam perjuangan pembentukan bangsa dan negara, tapi sudah saatnya kita masyarakatkan bahwa kemerdekaan kita dan usaha para pahlawan tidak melulu bersimpah darah melainkan juga sederetan perjuangan intelektual dan diplomasi.

Perubahan citra sejarah yang membosankan dan berdebu menjadi sejarah yang hidup dan menarik bukan hanya isapan jempol. Sebuah usaha mulia dalam koridor ini misalnya adalah film ”Gie” karya sineas nasional kita yang ditayangkan tahun lalu. Film yang mengangkat kisah Soe Hok Gie ini jelas membuka mata banyak orang, terutama generasi muda tentang keberadaan tokoh tersebut dan perjuangannya di era 1960an. Langkah pertama menuju sebuah apresiasi sudah digebrak: awareness. Jelas fakta sejarah tidak akan mungkin 100% tertuang dalam film apa pun, tapi harus diakui bahwa pendekatan populis akan jauh lebih efektif dalam menumbuhkan apresiasi masyarakat terhadap pahlawan dan sejarah. Justru dengan menerima bahwa interpretasi sejarah tidak harus tunggal bisa membuat sejarah lebih menarik.

Para pahlawan seharusnya tidak hanya berpigura dan tergantung di ruang-ruang kelas. Pemikiran dan semangat mereka selayaknya hidup dan berada di tengah-tengah masyarakat yang mereka bela. Peninggalan Ki Hajar Dewantara yang paling penting bukanlah lukisan parasnya yang berkaca mata, tapi prinsip pendidikan Taman Siswa yang mengembangkan ribuan atau bahkan jutaan anak Indonesia. Demikian pula perjuangan arek-arek Suroboyo tidak terbatas pada Oktober-November 1945, tapi yang lebih besar dari itu adalah kebulatan tekad untuk tidak mau didikte dan ditindas orang lain.

Miskonsepsi lain tentang pahlawan di Indonesia adalah seolah-olah untuk menjadi pahlawan seseorang harus gugur atau wafat terlebih dahulu. Ini adalah miskonsepsi yang sangat menyempitkan makna pahlawan itu sendiri. Kalau kita tilik kata ”hero” dalam bahasa Inggris, tidak ada unsur bahwa seorang hero harus tewas dulu baru bisa disebut pahlawan. Seorang murid bisa saja menyebut sang guru sebagai hero, seorang anak bisa menyebut ayah atau ibunya sebagai hero, pemadam kebakaran pun sering disebut sebagai heroes. Tanpa perlu berlebih menjadikan masyarakat yang sok pahlawan, tapi bangsa ini butuh pahlawan-pahlawan yang tidak hanya membela nilai yang hidup, tapi juga masih hidup untuk menjalankan misinya.

Usaha-usaha semacam ini perlu dukungan lebih banyak pihak. Entah itu penggarapan sinema, tayangan televisi, penerbitan buku, penulisan artikel, atau apa saja yang bisa mengkomunikasikan kepada publik tentang pahlawan-pahlawan kita (pahlawan disini dalam arti luas, tidak selalu yang sudah gugur) yang tidak sedikit jumlah dan sumbangsihnya. Museum-museum dan obyek wisata sejarah juga butuh bantuan profesional untuk dapat menarik minat masyarakat luas selain menyokong biaya perawatan dan pelestarian.

Disini sebenarnya ada pengharapan. Kalau biasanya kita kenal istilah „downward spiral“, tapi jika kita berhasil mem-PR-kan sejarah dan pahlawan kepada masyarakat dan penghargaan tersebut tumbuh, dengan sendirinya akan terjadi ”upward spiral” dimana usaha-usaha mengapresiasi sejarah justru akan datang dari masyarakat sendiri.

Pemerintah kemungkinan besar tidak memiliki anggaran ataupun sumber daya (atau political will?) untuk mengontrak praktisi PR sekelas Bernays untuk menggugah penghargaan masyarakat kepada sejarah dan pahlawan. Akan tetapi, akan jauh lebih berarti bagi para praktisi humas, media, dan komunikasi massa lainnya untuk proaktif mem-PR-kan sejarah dan para pahlawan bangsa ini dengan layak dan benar dalam setiap kesempatan yang ada.

Mari kita jadikan bangsa ini bangsa yang besar!

 

Rotterdam, Oktober 2006,
Michael C. Putrawenas

This entry was posted in Business & Society, Indonesia and tagged , , . Bookmark the permalink.
  • Byline

    Michael is a professional leader in the fields of energy investments, complex commercial deals, and sustainability with extensive international experience. His personal interests span from socio-political issues, history, and culture.

  • From the Archives

    PPI Belanda Tawarkan Solusi Polemik Studi Banding

    Komunitas di Belanda menyimpan potensi yang besar untuk Indonesia. Ribuan pelajar Indonesia menempuh studi di berbagai bidang seperti ekonomi, hukum, perencanaan wilayah, sejarah, sosiologi, teknik, dan mayoritas menuntut ilmu di institusi pendidikan yang cukup berkualitas. Belum lagi para profesional Indonesia yang bekerja di Belanda dan memiliki pengalaman praktis tingkat dunia.