Reputasi Hukum

Antara Masyarakat dan Penegak Hukum

Pasca gerakan reformasi, banyak pihak berharap supremasi hukum dapat ditegakkan dengan alat-alat hukumnya yang berfungsi sebagaimana mestinya, tidak lagi basa-basi semasa orde baru. Sayangnya, institusi-institusi penegak hukum di negara ini sampai sekarang masih belum memiliki reputasi yang sungguh-sungguh berwibawa, dihormati, dan disegani. Padahal reputasi semacam itu adalah salah satu prasyarat untuk mereka dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Kehadiran polisi di jalan raya masih sering dilecehkan, otoritas jaksa kerap diacuhkan, dan vonis hakim tidak jarang diragukan.

Meskipun begitu, kita harus adil dalam melihat krisis reputasi ini. Reputasi selalu menyangkut dua pihak: pihak yang mempersepsikan reputasi dan pihak yang membangun reputasi. Dalam hal ini, masyarakat adalah pihak yang mempersepsikan reputasi (penegak) hukum dan aparat penegak hukum itu sendiri yang sedang berusaha membangun reputasinya.

Masyarakat dan Kesadaran Hukum

Kalau kita jujur, sebetulnya masyarakat sendiri juga masih dalam sikap mental yang melecehkan hukum. Sebelum masyarakat bisa menghormati alat penegak hukum, terlebih dahulu masyarakat harus sadar hukum. Memang sikap semacam ini tidak lepas dari ketegasan aparat. Tetapi aparat (yang notabene juga bagian dari masyarakat) akan sulit bertindak jika tidak didukung sikap masyarakat yang menghormati hukum. Daripada berkutat dalam lingkaran setan, hendaknya kita juga jangan hanya bisa berkoar menuntut supremasi hukum, apalagi sampai bolos kerja atau bolos kuliah untuk demonstrasi dan orasi. Coba kita introspeksi masing-masing, dan betapa kita sebenarnya sering membenarkan pelanggaran hukum.

Masyarakat sering menuntut pemberantasan korupsi dan dengan mudahnya menunjuk hidung orang lain sambil memberikan cap ”koruptor”. Bagaimana dengan sikap korupsi waktu yang merajalela di kantor-kantor di Indonesia, entah itu kantor pemerintah ataupun swasta? Jam kerja sering dipakai untuk mengobrol sampai kebablasan, ironisnya sering untuk membicarakan betapa bobroknya negara dan bangsa ini. Fasilitas-fasilitas kantor seperti printer, internet, dan kertas sering pula digunakan pegawai untuk kepentingan pribadi. Belum lagi kalau kita mau menghitung jumlah pengguna piranti lunak bajakan dan penikmat musik bajakan di sekitar kita.

Apa itu semua bukan bentuk lain dari korupsi dan pencurian? Pasti akan banyak yang menjawab dengan sederetan pembenaran dan pembelaan. Tapi apapun itu, sebenarnya yang membedakan seorang koruptor waktu atau pembajak musik dengan seorang koruptor trilyunan rupiah hanyalah kesempatan yang mereka miliki. Kebetulan saja yang satu hanya memiliki akses ke alat tulis kantor dan yang lain memiliki akses ke Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), misalnya. Sikap mental mereka pada dasarnya sama, yaitu ketidakpedulian terhadap hukum.

Dr. Franz Magnis-Susesno dalam buku Etika Politik menjelaskan betapa pentingnya pengakuan masyarakat akan hukum dalam sebuah negara. Ada dua tatanan dimana masyarakat dapat taat hukum: pertama adalah semata karena takut ditindak, dan yang kedua adalah karena masyarakat menyetujuinya. Dalam tatanan yang kedua, sanksi hanya berfungsi sebagai penunjang karena masyarakat menyadari bahwa tegaknya hukum adalah untuk menjamin nilai-nilai bersama yang dianggap paling vital. Tentu tatanan yang diwarnai kesadaran hukum yang dewasa adalah yang paling ideal, dan masyarakat kita masih harus banyak belajar untuk dapat memahaminya. 

Reputasi dan Komunikasi Internal Penegak Hukum

Suka atau tidak, masyarakat kita masih dalam koridor sikap taat hukum karena takut ditindak. Upaya untuk mendewasakan pola pikir publik menjadi sadar hukum jelas sangat penting dan harus terus digalakkan. Tetapi saat ini kita juga harus pragmatis dan usaha penegakan hukum perlu disesuaikan dengan dinamika sosial. Ini berarti, reputasi penegak hukum sebagai kelengkapan negara yang tegas dan berwibawa harus ditegakkan.

Berbeda dengan perusahaan komersial yang memiliki anggaran besar untuk membangun reputasi melalui iklan, kegiatan promosi, dan lainnya, institusi penegak hukum sesuai kedudukannya harus membangun reputasi dengan strategi yang berbeda. Paling utama dalam strategi tersebut adalah strategi komunikasi yang matang. Banyak orang sering lupa, bahwa komunikasi sebuah institusi pun terbagi dua, komunikasi internal dan eksternal. Kita sering menjumpai betapa pengelolaan komunikasi melulu dipusatkan pada komunikasi eksternal sementara komunikasi antar rekan-rekan sejawat masih amburadul.

Jelas kiranya bahwa polisi, jaksa, dan hakim tidak dapat membangun reputasi dengan mengiklankan profesi mereka layaknya institusi bisnis –dan tidak perlu. Komunikasi internal yang sehat dan lancar antar aparat penegak hukum dengan sendirinya akan tercermin dalam komunikasi eksternal mereka. Komunikasi juga tidak selalu dalam bentuk konferensi pers atau wawancara dengan media, tetapi sikap yang jelas dan gesture yang simpatik juga merupakan sebuah bentuk komunikasi.

Komunikasi internal yang baik akan dengan sendirinya tercermin dalam komunikasi eksternal dan mencegah kesalahan koordinasi yang terkadang sepele tapi bila tersorot akan berdampak besar. Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Mabes Polri sebagai pucuk-pucuk penegak hukum perlu mendidik anggota-anggotanya untuk fasih berkomunikasi dalam artian yang luas antar mereka sendiri. Ini bukanlah tugas yang mudah mengingat banyaknya lembaga-lembaga bawahan mereka di tingkat propinsi dan kabupaten.

Kita beberapa kali mengamati pejabat teras penegak hukum memiliki visi yang baik dan pemikiran strategis dalam memerangi pelanggaran hukum, tapi tidak jarang implementasi di lapangan jauh berbeda. Terlepas dari fasilitas pendukung yang mungkin masih kurang, para pelaksana di lapangan sering tidak mengetahui visi dan strategi pimpinan mereka. Mismatch atau ketidakselarasan antara strategi dan implementasi ini menandai masih lemahnya komunikasi internal dalam tubuh lembaga-lembaga penegak hukum. Jika ini dirasakan atau dipersepsikan oleh publik luas, maka secara sadar atau tidak, ini adalah komunikasi eksternal yang negatif.

Selain perbaikan sistem komunikasi internal, pembangunan esprit de corps yang sehat adalah salah satu solusinya. Jika para aparat penegak hukum sungguh-sungguh peduli terhadap institusinya, maka mereka pun akan proaktif menyelaraskan tindakan mereka dengan kerangka kerja yang ada. Demikian pula para pimpinan akan selalu berusaha memastikan anak buahnya mengetahui dan sadar akan visi dan program yang sudah digariskan.

Reputasi penegak hukum bukan saja vital untuk publik, tapi juga dalam menarik bakat-bakat muda untuk menjadi penegak hukum. Reputasi yang bersih dan berwibawa jauh dari kesan korup dan basa-basi akan lebih efektif dalam menumbuhkan minat sarjana hukum untuk menjadi jaksa atau hakim. Ini pada gilirannya nanti akan berperan penting dalam membangun institusi penegak hukum yang lebih berkualitas.

 

Rotterdam, Oktober 2006,
Michael C. Putrawenas

This entry was posted in Business & Society, Indonesia and tagged , , . Bookmark the permalink.
  • Byline

    Michael is a professional leader in the fields of energy investments, complex commercial deals, and sustainability with extensive international experience. His personal interests span from socio-political issues, history, and culture.

  • From the Archives

    Bandung Scenarios

    “Well thought out trajectories on how Indonesia’s energy sector could develop and take shape in 2030 can help inform and guide all stakeholders involved […] and help provide Indonesia’s new government with valuable input as it formulates new policies and strategies”