Kontroversi Ceramah Paus Benediktus XVI

Fakta dibalik Berita

Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk membela Paus Benediktus XVI terkait pemberitaan akhir-akhir ini tentang pernyataan beliau yang katanya kontroversial tentang Islam dan jihad. Tulisan ini juga tidak untuk membela otoritas Vatikan ataupun Gereja Katolik. Maksud dari tulisan ini sebenarnya sederhana, ingin mengajak publik Indonesia untuk berpikir sehat dan kritis dalam menarik kesimpulan dan kemudian menyikapi suatu berita.

Bangsa ini sudah lama (membiarkan dirinya) porak-poranda beradu sana-sini karena terprovokasi hal-hal yang berbau agama. Ratusan ribu nyawa sudah melayang di bumi nusantara sebagai buah provokasi. Jutaan atau bahkan milyaran anak manusia terbantai sepanjang sejarah peradaban dengan alasan agama. Masih belum semaju yang kita kira kah spesies homo sapiens ini?

Kontroversi seputar ceramah Paus Benediktus XVI di Universitas Regensburg, Jerman dua pekan lalu terlihat berpotensi membakar konflik antara umat Muslim dan Nasrani terutama di negara-negara yang masih memegang teguh doktrin keagamaaan, termasuk Indonesia. Padahal sering kali media hanya memberitakan kutipan bebas, atau bahkan langsung opini dan tuduhan atau pembelaan. Sering persepsi masyarakat terbentuk bukan oleh kualitas jurnalisme yang baik (antara lain berimbang, verifikasi sumber, dan analisa empiris) tapi oleh kepicikan atau lebih parah lagi oleh agenda-agenda tertentu yang provokatif.

Dalam hal ini, sumber informasi primer tidak lain adalah teks pidato Paus yang diributkan itu. Teks lengkap ceramah bertajuk ”Iman, Nalar, dan Universitas – Kenangan dan Refleksi” yang disampaikan di Universitas Regensburg di hadapan ”Representatives of Science” bisa dilihat di situs resmi Vatikan (www.vatican.va) atau sumber lain yang dengan mudah bisa ditemukan melalui mesin pencari di internet. Berikut beberapa fakta dan kutipan langsung dari teks tersebut untuk menstimulasi penalaran dan analisa kita terhadap berita-berita yang beredar:

Tercatat kata “Islam” disebut satu kali dan jihad satu kali (di beberapa sumber, teks tidak mengandung kata “jihad” sama sekali tapi langsung menggunakan frase “holy war”), dan keseluruhan teks tersebut berjumlah 3.878 kata. Kata “Islam” dan “jihad” diangkat dalam konteks berikut (terjemahan bebas ke dalam bahasa Indonesia):

“ … bahwa dihadapan skeptisisme radikal, masih tetap perlu dan beralasan untuk mengeksplorasi Ketuhanan dengan menggunakan nalar. (…) Saya teringat baru-baru ini ketika membaca tulisan Profesor Theodore Khoury (Munster) pada bagian dialog –yang terjadi sekitar tahun 1391 di barak musim dingin dekat Ankara- antara kaisar Bizantium Manuel II Paleologus yang terpelajar dan seorang terdidik dari Persia tentang Kristianitas dan Islam, dan kebenaran dalam keduanya. (…)

Pada pembicaraan ketujuh (…) yang disunting oleh Profesor Khoury, sang kaisar menyentuh tema jihad (perang suci). (…) Sang kaisar melanjutkan dengan penjelasan mengapa menyebarkan iman dengan kekerasan adalah tidak beralasan. Kekerasan tidak sesuai dengan sifat Tuhan dan sifat jiwa. Tuhan tidak dapat disenangkan dengan darah (…). Iman lahir dari jiwa, bukan badan. Siapapun yang memimpin orang lain menuju iman memerlukan kemahiran berkomunikasi dan berpikir sehat, tanpa kekerasan dan ancaman… Untuk meyakinkan jiwa yang sehat, tidak diperlukan senjata apapun ataupun ancaman untuk membunuh.”

Ceramah tersebut berisi berbagai ilmu filosofi dan teologi yang mendalam serta perkembangan sejarahnya; sehingga memerlukan pengetahuan dan pola pikir yang tidak dangkal untuk mencernanya dengan baik. Bagian-bagian lain dari ceramah tersebut yang tidak dikutip diatas antara lain berbicara tentang filosofi Yunani, teologi Gereja, dan perkembangannya.

Tapi mungkin salah satu inti dan maksud ceramah tersebut terangkum dalam bagian akhirnya (sebagaimana banyak karya tulis atau pidato yang ditulis dengan baik pada umumnya):

“(…) dan saya tiba pada kesimpulan saya (…). Kita semua bersyukur atas segala kemungkinan yang terbuka bagi umat manusia dan segala kemajuan yang telah diberikan. (…) Intensi ini bukanlah pendangkalan atau kritik negatif, tapi perluasan konsep nalar dan aplikasinya. Meskipun kita menyambut baik kemungkinan-kemungkinan baru bagi manusia, tapi kita juga melihat bahaya yang dapat muncul dari kemungkinan-kemungkinan tersebut, dan kita harus berupaya mengatasinya. Kita hanya akan berhasil jika nalar dan iman berpadu, jika kita mengatasi batasan-batasan nalar dengan verifikasi empiris, dan jika kita sekali lagi membuka horisonnya yang luas. Dalam pengertian tersebut teologi sungguh layak bertempat di universitas dalam kerangka dialog ilmu yang luas, tidak hanya sebagai ilmu sejarah dan ilmu manusia, tapi tepat sebagai teologi, sebagai penelusuran atas penalaran akan iman.

Hanya dengan begitu, kita mampu menjalin dialog yang murni antar budaya dan agama yang sangat dibutuhkan saat ini. (…) kami mengundang mitra-mitra kami untuk mengadakan dialog budaya. (…)”

Seperti yang ditulis di awal, tulisan ini tidak untuk membela Pemimpin Umat Katolik sedunia itu ataupun ajarannya, tapi ingin mengajak masyarakat untuk melihat fakta yang paling otentik sebelum menarik kesimpulan. Beberapa fakta penting sudah disampaikan dalam tulisan ini, lebih baik lagi jika ada inisiatif untuk memverifikasi ulang fakta-fakta tersebut. Silakan kini Anda menilai masing-masing keakuratan pemberitaan yang heboh di berbagai media.

Rotterdam, 19 September 2006,
Michael C. Putrawenas

This entry was posted in Editorial, Miscellaneous and tagged , , , . Bookmark the permalink.
  • Byline

    Michael is a professional leader in the fields of energy investments, complex commercial deals, and sustainability with extensive international experience. His personal interests span from socio-political issues, history, and culture.