- Marinus Riwu, Dominggus da Silva, Fabianus Tibo

Tahun ini Merah-Putih Berkibar Bernoda Darah

Hingga pertengahan September 2006 masih belum ada kejelasan tentang eksekusi Tibo cs., mereka sedianya dieksekusi pada 12 Agustus 2006. Tulisan ini ditulis pada tanggal 11 Agustus 2006.

Di ufuk peringatan hari Proklamasi Kemerdekaan ke-61, bendera merah-putih akan ternoda darah anak bangsanya sendiri. Berbeda dengan pengalaman sejarah penuh patriotisme membela Sang Saka, kali ini pemerintah pengusung merah-putih lah yang justru membunuh warganya: Marinus Riwu, Dominggus da Silva, dan Fabianus Tibo. Ketiga terpidana mati kasus Poso tersebut (akan) diekseskusi pada 12 Agustus 2006.

Terlepas dari menumpuknya kejanggalan seputar keputusan eksekusi mereka, dari mulai proses pembuktian awal sampai novum baru yang belum dipertimbangkan, dari perbandingan dengan kasus kerusuhan serupa sampai proses penyusunan KUHP baru yang belum rampung, konsep bahwa negara mencabut nyawa seseorang tidak dapat dibenarkan.

Perdebatan seputar hukuman mati meskipun marak tetapi jelas nampak semakin banyak negara-negara meninggalkan bentuk hukuman primitif nan keji itu, entah dengan penghapusan resmi atau penundaan eksekusi terpidana (yang kemudian secara de facto menjadi terpidana seumur hidup). Kebijakan seperti itu kebanyakan didasari oleh nurani yang menolak otoritas siapapun (negara sekalipun) untuk mencabut nyawa manusia, hak asasi yang paling asasi dan sakral sebagai pemberian Yang Maha Kuasa. Juga tidak ada satu pun sistem hukum buatan manusia yang sempurna sehingga bisa dengan mutlak dan penuh keyakinan menyatakan seseorang bersalah sesuai tuduhan dan layak dicabut nyawanya.

Dibawa ke alam hukum Indonesia, konsep-konsep tersebut menjadi sangat menyeramkan. Sistem hukum yang masih dalam tahap awal pembersihan, pembenahan, dan perombakan berani mengambil keputusan untuk melakukan ekseskusi hukuman mati. Siapa yang akan berani menanggung jika suatu hari nanti bukti-bukti baru muncul dan mengatakan Riwu cs. tidak bersalah sesuai tuduhan? Apakah jaksa penuntut, hakim pemberi vonis, atau Presiden penolak grasi?

Kekejian mereka yang berkuasa mempengaruhi keputusan eksekusi tidak berhenti sampai pencabutan nyawa tiga anak manusia, tapi juga menjadikan aparat negara yang terlibat sebagai “pembunuh resmi” dari mulai regu tembak, petugas transportasi, penjaga, dan seterusnya. Mereka menjadi bagian dari mesin pembunuh atas perintah sistem hukum yang masih bobrok.

Memang kita harus menghormati hukum, akan tetapi kita harus menjunjung tinggi nurani. Ada berbagai cara yang sesuai prosedur hukum yang dapat dilakukan untuk menunda eksekusi namun hasilnya nihil. Sebagai warga negara yang baik namun penuh kekecewaan dan sebagai manusia bernurani dan berTuhan, yang bisa kita lakukan kini hanyalah berdoa dan berharap bagi mereka dan keluarganya.

Sungguh apa yang dikatakan pembina spiritiual ketiga terpidana kasus Poso tepat adanya ketika beliau meminta Riwu cs. memanut doa Kristus di kayu salib, “Tuhan, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat…”

Mengheningkan cipta, mulai!

Rotterdam, 11 Agustus 2006
Michael C. Putrawenas

This entry was posted in Editorial, Indonesia and tagged , , , , , . Bookmark the permalink.
  • Byline

    Michael is a professional leader in the fields of energy investments, complex commercial deals, and sustainability with extensive international experience. His personal interests span from socio-political issues, history, and culture.

  • From the Archives

    Vox Populi, Vox Dei?

    Hampir setiap hari kita dengar berita tentang penembakan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Tetapi ada sesuatu yang berbeda dari insiden pada hari Senin lalu. Lebih dari 30 pelajar dan dosen tewas di sebuah kampus. Bukan di Baghdad, bukan di Kabul, dan juga bukan di jalur Gaza; tetapi di Blacksburg, negara bagian Virginia, Amerika Serikat. Pelaku penembakan diduga bukan “teroris” maupun perampok –tapi mahasiswa berumur 23 tahun.