Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya

Selamat Ulang Tahun Bangsaku!

Pekan ini Indonesia kembali berulang tahun. Setidaknya ada dua hal yang lazim dilakukan pada saat ulang tahun: berpesta-pora mengundang kerabat serta handai taulan, atau mengambil waktu untuk merenung melihat ke belakang supaya langkah ke depan lebih mantap. Keduanya tidak harus bertentangan satu sama lain, bahkan dalam konteks kebangsaan jika dikemas dengan baik keduanya adalah sangat penting.

Berpestalah Bangsa Indonesia!

Tentu berpesta di sini bukan berarti berfoya-foya sampai mabuk, tapi menguatkan kembali semangat kebangsaan sebagai orang Indonesia. Selama masih dalam batas kewajaran, peringatan meriah terkadang perlu untuk menggugah kembali ke-Indonesia-an kita.

Di era orde baru, upacara bendera dan segala jargon dalam Pendidikan Moral Pancasila sering dipandang sinis jika tidak diremehkan. Ini karena seringnya penyalahgunaan pendidikan tersebut. Sekarang pola indoktrinasi buta itu kita tinggalkan, tapi jangan sampai akar dan simbol kebangsaan kita ikut tercabut. Apapun rezim kekuasasan negara, Sang Saka Merah Putih tetap wajib kita hormati –tentu tidak harus dengan gaya militeristik. Junjunglah bendera kita tinggi-tinggi dan kumandangkan Indonesia Raya dengan lantang dan khidmat.

Mari kita rayakan berbagai keberhasilan dan kemajuan kita. Kehebatan bangsa ini bukan saja yang tersimpan di berbagai cagar dan musem. Bolehlah kita ikut berbangga atas segudang prestasi putra-putri Indonesia di berbagai ajang adu otak tingkat dunia dan olah raga bergengsi. Potensi akademis pelajar Indonesia pun tersebar di seantero bumi. Tidak sedikit orang Indonesia yang kiprahnya disegani dunia internasional. Justru malah terkadang kita yang sudah terlanjur menganggap remeh bangsa sendiri karena luluh dibombardir sejuta masalah dalam negeri.

Bangsa Indonesia akan tenggelam di antara bangsa lain, jika semangat kebangsaan kita sendiri semakin pudar. Kecenderungan minder harus dikikis dengan pembangunan karakter bangsa yang kuat dan membanggakan. Sudah enam puluh tahun kita resmi menjadi bangsa Indonesia, tapi rasanya karakter bangsa ini masih perlu kita bangun bersama.

Merenunglah kita orang Indonesia!

Kita sebaiknya paham, bahwa pada tanggal 17 Agustus bukan saja pemerintah Indonesia yang berhari jadi, tapi ”…hari lahirnya bangsa Indonesia” seperti yang disajakkan dalam sebuah lagu nasional. Jika dalam 51 pekan lain dalam tahun kita kerap mengkritik pemerintah, ada baiknya dalam pekan ulang tahun bangsa ini, kita instropeksi diri kita sendiri sebagai bagian bangsa Indonesia.

Potret elit politik kita, baik dalam arti harafiah maupun kiasan, yang seringkali mengecewakan perlu kita telaah lebih dalam. Lepas dari segala kekurangan sistem, andil kita dalam mengantarkan bapak-ibu yang terhormat ke gerbang kekuasaan itu cukup besar. Kitalah yang memilih mereka dengan berbagai alasan masing-masing. Sering kita salahkan janji palsu mereka; tapi coba dalam pekan ini kita renungkan mengapa kita sebegitu bodohnya termakan janji palsu. Atau coba jujur dengan diri kita sendiri, jikalau kita yang berada di posisi mereka apakah kita akan bertindak sama saja, lebih baik, atau lebih buruk?

Ketika kita berteriak supremasi hukum, berapa dari kita menikmati murahnya piranti lunak dan film bajakan? Apakah kita semua selalu menghormati dan mentaati hukum tatkala kita melihat celah yang bisa meloloskan diri sendiri dari jerat hukuman? Supremasi hukum adalah mustahil tanpa kesadaran hukum masyarakat. Penegak hukum secanggih apapun tidak akan mampu mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang berwibawa jika masyarakatnya sendiri hanya ingin hukum diterapkan pada orang lain. Sering menggema yel-yel “adili para koruptor”, tapi jika kita sungguh ingin hukum berlaku untuk semua seharusnya juga ada yel-yel “adili para pelanggar lalu-lintas, adili pembuang sampah sembarangan, dan seterusnya”. Bisa saja kita berdalih bahwa pelanggaran lalu-lintas dan sejenisnya tergolong ‘kejahatan sangat ringan’. Tapi bukan tingkat kejahatannya yang penting, melainkan mentalitas kita sebagai bangsa yang memprihatinkan. Perbedaan dari pelanggaran lalu-lintas dan korupsi multi-trilliun sebenarnya hanya satu: ada atau tidaknya kesempatan –tetapi keduanya terjadi karena mentalitas dasar yang sama.

Kesalahan dan kekurangan pemerintah tak akan ada habisnya. Daftar dengan jutaan tuntutan pun belum tentu berdampak. Hendaknya kita juga membuat daftar tuntutan bagi diri kita sendiri, tuntutan yang harus kita penuhi supaya bangsa Indonesia menjadi lebih baik. Apa kita justru bertindak tanduk yang mencoreng nama bangsa sendiri?

Apakah kita termasuk orang yang berteriak ketika harga BBM naik tapi terus menancap pedal gas kendaraan kita yang mengkilat? Sebegitu pelitnya kah kita untuk membayar harga wajar bensin supaya pendidikan dan kesehatan saudara kita yang lain bisa membaik? Gentingnya krisis energi jangka menengah sepertinya belum terpatri di kebanyakan kita. Rajinkah kita mematikan lampu penghias taman supaya di pelosok sana seorang anak yang rajin bisa belajar di malam hari? Siapa tahu anak inilah yang nanti akan menyelesaikan masalah energi di Indonesia kelak dengan sumber daya berkesinambungan.

Indonesia sudah mengalami berbagai revolusi yang menumbangkan rezim-rezim pemerintahan, tapi selalu hasilnya kurang memuaskan. Fenomena ini menarik sebagai bahan introspeksi. Mungkin bukan hanya pemerintahnya yang perlu digulingkan, tapi rakyatnya juga perlu membangun diri sendiri. Rezim baru pengganti rezim lama tokh dulunya rakyat jelata juga tapi sering kelakuannya mengecewakan ketika menjadi penguasa. Jangan-jangan kita yang kini rakyat jelata juga akan berkelakuan sama jika menjadi penguasa.

Kalau saja tempat sampah raksasa dibangun di dekat rumah kita, kita protes besar-besaran. Tapi ketika saudara-saudara kita di timur sana tercemar limbah dan kehilangan gunung pusakanya, kita cukup baca koran dan kasih komentar. Kita baru semakin was-was kalau daerah kaya tersebut terancam hilang dari peta nasional dan tidak lagi mengantar pundi-pundi hasil bumi. Sudah sedemikian egoisnya kah kita terhadap sesama orang Indonesia?

Harus kita akui bahwa sebagai pribadi manusia Indonesia kita masih sangat kurang mengisi kemerdekaan dan menjaga api semangat Proklamasi. Mari kita bersama sebagai satu bangsa bahu-membahu membangun Indonesia yang lebih baik.

Selamat ulang tahun bangsaku!

Rotterdam, 16 Agustus 2006
Michael C. Putrawenas

This entry was posted in Editorial, Indonesia and tagged , . Bookmark the permalink.
  • Byline

    Michael is a professional leader in the fields of energy investments, complex commercial deals, and sustainability with extensive international experience. His personal interests span from socio-political issues, history, and culture.

  • From the Archives

    Faith, Reason and the University -Memories and Reflections

    “…While we rejoice in the new possibilities open to humanity, we also see the dangers arising from these possibilities and we must ask ourselves how we can overcome them. We will succeed in doing so only if reason and faith come together in a new way, if we overcome the self-imposed limitation of reason to the empirically verifiable, and if we once more disclose its vast horizons. In this sense theology rightly belongs in the university and within the wide-ranging dialogue of sciences, not merely as a historical discipline and one of the human sciences, but precisely as theology, as inquiry into the rationality of faith.”