Hukuman Mati di Indonesia

Sebuah Kekeliruan Mortal

Hukuman mati adalah bahan perdebatan yang tampak seperti tidak akan ada habisnya. Namun jaman sekarang sepertinya adalah titik kulminasi diantara dua kubu yang berseberangan. Negara-negara di Uni Eropa sudah menghapus semua jenis bentuk hukuman dimana negara mencabut nyawa manusia. Beberapa negara bagian di Amerika Serikat juga melakukan hal serupa meskipun negara bagian lainnya masih melakukan eksekusi.

Sistem hukum Indonesia pun masih mengakui keabsahan hukuman mati, dan juga masih melaksanakan eksekusi dengan regu tembak. Tulisan ini akan mencoba menunjukkan betapa keadaan status quo adalah suatu kekeliruan yang sangat berbahaya dan tidak ada lagi argumen signifikan untuk mempertahankannya, baik secara umum apalagi secara khusus dalam konteks sistem hukum Indonesia.

1. Kontradiksi Standar Moral

Apabila masyarakat memandang pembunuhan sebagai suatu bentuk tindakan amoral, maka pembunuhan yang meskipun dilakukan oleh negara juga harus dipandang amoral. Sebab, ke-amoral-an pembunuhan didasarkan oleh prinsip penghilangan nyawa – lepas dari siapa pelaku dan korbannya. ‘Membalas’ tindakan amoral dengan tindakan amoral bukanlah metode yang bisa dibenarkan, apalagi jika tindakan tersebut dilakukan oleh institusi negara. Justru hukuman mati secara tidak langsung menanamkan konsep ‘pembunuhan yang dibenarkan’ – dan ini sama sekali tidak bisa dibiarkan.

2. Tugas Negara Menegakkan HAM, Bukan Melanggarnya

Indonesia sudah meratifikasi Universal Declaration of Human Rights yang juga termasuk hak asasi untuk hidup. Inilah salah satu alasan utama banyak negara maju termasuk negara-negara Uni Eropa melarang hukuman mati.

Di Indonesia, prinsip yang sama dikuatkan lagi dengan UUD 1945 Bab XA: Hak Asasi Manusia, pasal 28A (amandemen II) yg berbunyi: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Melalui hukuman mati justru negara melanggar prinsip dasar tersebut. Hak asasi manusia adalah hak yang tidak dapat dicabut oleh siapa pun – termasuk negara. Seharusnya, segera setelah amandemen II tersebut berlaku, perundangan dibawahnya yang melanggar hak asasi manusia (termasuk dan terutama perihal hukuman mati) pun di revisi.

3. Retribusi vs. Rehabilitasi

Prinsip dan filosofi dasar sebuah ‘hukuman’ yang dijatuhkan negara melalui sistem peradilan bukanlah semata ‘pembalasan’, justru harus mengandung elemen ‘rehabilitasi’ dan ‘pembinaan’ terhukum sehingga mereka bisa kelak kembali hidup di tengah masyarakat – ini tokh alasan kenapa hotel prodeo disebut ‘Lembaga Pemasyarakatan’. Sementara melalui pelaksanaan hukuman mati, yang dimasyarakatkan adalah ‘pembunuhan’ itu sendiri.

Alasan klasik adalah melalui hukuman mati ada pihak yang terpuaskan dendamnya – namun kiranya keadilan dan nyawa manusia lebih mulia untuk dikalahkan dengan dendam.

4. Kerancuan dan Keraguan Proses Hukum

Pelaksanaan proses hukum di Indonesia masih sangat jauh dari sempurna. Meskipun sampai ke tingkat kasasi, keputusan / vonis hakim sering diragukan kemurnian proses hukumnya. Dalam situasi praktek hukum seperti ini, absurd kiranya diterapkan – dan dieksekusikan – hukuman yang sama sekali irreversible dengan harga yang paling mahal: nyawa manusia.

Bahkan di negara dengan sistem hukum yang mapan sekalipun, tidak bisa menjamin 100% setiap terhukum adalah bersalah sesuai tuduhan.

Nah, apakah negara dan masyarakat Indonesia bisa menanggung resiko apabila kasus semacam itu terjadi? Atau menjamin sepenuhnya tanpa kecuali seluruh proses hukum sungguh murni dan vonis yang dijatuhkan sungguh seadil-adilnya?

5. Cruel and Unusual Punishment

Hukuman mati sebenarnya dapat dimasukkan dalam kategori ‘cruel and unusual punishment’ yang seharusnya tidak (lagi) diterapkan bagi manusia. Apalagi jika dilihat dampak psikologis bagi keluarganya yang notabene ‘tidak bersalah’.

Hukuman mati sebagai usaha preventif?

Salah satu argumen utama mengapa hukuman mati diterapkan ialah asumsi klasik bahwa dengan adanya vonis mati bisa mencegah terjadinya kejahatan besar yang nantinya berperan dalam melindungi masyarakat itu sendiri.

Fungsi ini pun terbukti tidak efektif. Meskipun hukuman mati tetap diberlakukan, tingkat kriminalitas yang justru bisa diancam hukuman mati seperti pembunuhan, kasus narkoba, dan seterusnya malah tetap meningkat.

Hukuman mati tidak punya pengaruh signifikan terhadap penurunan tingkat kriminalitas. Sikap mental seorang kriminal yang mengacuhkan hukuman seumur hidup akan relatif sama sikapnya terhadap hukuman mati karena didasarkan oleh sikap acuh terhadap hukum itu sendiri. Memang, setelah divonis mungkin penyesalan akan muncul – tapi ini tidak menurunkan tingkat kriminalitas sebab penyesalan muncul setelah aksi kriminal itu sendiri terjadi.

Jadi, menurunkan tingkat kriminalitas bukanlah dengan semata memberi hukuman yang ‘menakutkan’, tetapi yang utama adalah pembangunan sosial masyarakat yang mapan.

Terlebih lagi jika dilihat tingkat kriminalitas negara atau negara bagian yang masih menerapkan hukuman mati tidak tampak korelasi berarti yang bisa membenarkan eksekusi fatal semacam itu. Maka, tidak ada bukti bahwa hukuman mati punya pengaruh signifikan dalam menurunkan tingkat kriminalitas – sehingga hukuman mati, apalagi di Indonesia semakin kehilangan justifikasinya.

Objektivitas vs Subjektivitas

Argumen lain yang sering muncul untuk mempertahankan bentuk hukuman yang satu ini ialah pemenuhan rasa “keadilan” (keluarga) korban.

Pertanyaan yang harus dikaji lebih dalam ialah, apakah betul yang dipenuhi rasa keadilan atau rasa dendam?

Tentu saja sebagai korban kejahatan, perasaan marah dan sedih yang amat sangat akan muncul. Tapi dengan menghukum mati pelaku kejahatan tidak akan merubah apa yang telah terjadi. Malahan dengan adanya eksekusi justru menambah lagi hilangnya nyawa manusia dan membuat satu keluarga lagi (keluarga terhukum) menjadi gundah dan sedih – apakah ini menuju keadaan yang lebih baik?

Kerap kali disinilah letak permasalahannya. Padahal seharusnya hukum tidak boleh dipengaruhi perasaan subjektif. Keluarga korban bukanlah hakim. Bahkan jaksa dan hakim yang ada hubungan pribadi dengan sebuah kasus tidak akan diperbolehkan menanganinya. Inilah fondasi sistem hukum: objektifitas dan keadilan hukum.

Apabila tuntutan korban yang kerap berdasarkan emosi dan dendam selalu dipenuhi tanpa memperhatikan koridor hukum, apalah jadinya? Salah satu koridor utama adalah hak asasi manusia untuk hidup tanpa kecuali. Memang, si pelaku melanggar hukum, tapi justru negara harus menanganinya sesuai aturan hukum – karena itulah yang membedakan antara pelanggar hukum dan penegak hukum. Dalam hal ini negara harus bisa dengan obyektif sesuai prinsip hak asasi untuk memandang semua nyawa adalah sama dan tidak ada yg berhak menghilangkannya.

Rasa keadilan bagi korban seharusnya cukup dipuaskan dengan proses hukum yang adil, pembuktian yang sah, dan hukuman setimpal (seumur hidup misalnya). Rasa dendam? Bukanlah tugas negara untuk memuaskan rasa dendam.

This entry was posted in Editorial, Indonesia and tagged , , , . Bookmark the permalink.
  • Byline

    Michael is a professional leader in the fields of energy investments, complex commercial deals, and sustainability with extensive international experience. His personal interests span from socio-political issues, history, and culture.

  • From the Archives

    Faith, Reason and the University -Memories and Reflections

    “…While we rejoice in the new possibilities open to humanity, we also see the dangers arising from these possibilities and we must ask ourselves how we can overcome them. We will succeed in doing so only if reason and faith come together in a new way, if we overcome the self-imposed limitation of reason to the empirically verifiable, and if we once more disclose its vast horizons. In this sense theology rightly belongs in the university and within the wide-ranging dialogue of sciences, not merely as a historical discipline and one of the human sciences, but precisely as theology, as inquiry into the rationality of faith.”