Memperingati Hari Lahirnya Pancasila

Pernyataan Ke-Indonesia-an

Kita bersama-sama di sini, untuk menegaskan kembali Indonesia tempat kita berdiri. Indonesia sebagai sebuah warisan yang berharga, tapi juga sebuah cita-cita. Indonesia yang bukan hanya amanat para pendahulu, tapi juga titipan berjuta anak yang akan lahir kelak.

Kita bersama-sama di sini, untuk menyadari kembali, bahwa Indonesia adalah satu prestasi sejarah namun juga proyek yang tak mudah. Dalam banyak hal, tanah air ini belum rampung. Tetapi sebuah masyarakat, sebuah negeri, memang proses yang tak akan kunjung usai. Seperti dikutip Bung Karno, bagi sebuah bangsa yang berjuang, tak ada akhir perjalanan.

Dalam perjalanan itu, kita pernah mengalami rasa bangga tapi juga trauma, tersentuh semangat yang berkobar tapi juga jiwa yang terpuruk. Namun baik atau buruk keadaan kita, kita bagian dari tanahair ini dan tanahair ini bagian dari hidup kita: ‘Di sanalah kita berdiri, jadi pandu Ibuku’.

Di sanalah kita berdiri: di awal abad ke-21, di sebuah zaman yang mengharuskan kita tabah dan juga berendah hati. Abad yang lalu telah menyaksikan ide-ide besar yang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh, namun akhirnya gagal membangun sebuah masyarakat yang dicita-citakan. Abad yang penuh harapan, tapi juga penuh korban. Abad sosialisme yang datang dengan agenda yang luhur, tapi kemudian melangkah surut. Abad kapitalisme yang membuat beberapa negara tumbuh cepat, tapi memperburuk ketimpangan sosial dan ketakadilan internasional. Abad Perang Dingin yang tak ada lagi, tapi tapi tak lepas dari konflik dengan darah dan besi. Abad ketika arus informasi terbuka luas, tapi tak selalu membentuk sikap toleran terhadap yang beda.

Dengan demikian memang sejarah tak berhenti, bahkan berjalan semakin cepat. Teknologi, pengetahuan tentang manusia dan lingkungannya, kecenderungan budaya dan politik, berubah begitu tangkas, hingga persoalan baru timbul sebelum jawaban buat persoalan lama ditemukan.

Kini makin jelas-lah, tak ada doktrin yang mudah dan mutlak untuk memecahkan problem manusia. Tak ada formula yang tunggal dan kekal bagi kini dan nanti.

Yang ada, yang dibutuhkan, justru sebuah sikap yang menampik doktrin yang tunggal dan kekal. Kita harus selalu terbuka untuk langkah alternatif. Kita harus selalu bersedia mencoba cara yang berbeda, dengan sumber-sumber kreatif yang beraneka.

Sejarah mencatat, Indonesia selalu mampu untuk demikian – sebab Indonesia sendiri, 17 ribu pulau yang berjajar dari barat sampai ke Timur, adalah sumber kreatif yang tumbuh dalam kebhinekaan.

Para ibu dan bapak pendiri republik dengan arif menyadari hal itu. Itulah sebabnya Pancasila digali, dilahirkan, dan disepakati di hari ini, 61 tahun yang lalu.

Tidak, Pancasila bukanlah wahyu dari langit. Ia lahir dari jerih payah dalam sejarah. Ia tumbuh dari benturan kepentingan, sumbang-menyumbang gagasan, saling mendengar dalam bersaing dan berembug. Dengan demikian ia mengakui perbedaan manusia dan ketidak-sempurnaannya. Ia tak menganggap diri doktrin yang maha benar.

Tetapi justru itulah sebabnya kita menegakkannya, sebab kita telah belajar untuk tidak jadi manusia yang menganggap diri maha benar.

Maka Indonesia tak menganggap Pancasila sebagai agama – sebagaimana Indonesia tidak pernah dan tidak hendak mendasarkan dirinya pada satu agama apapun. Nilai luhur agama-agama menghilhami kita, namun justru karena itu, kita mengakui keterbatasan manusia. Dalam keterbatasan itu, tak ada manusia yang bisa memaksa, berhak memonopoli kebenaran, patut menguasai percakapan.

Maka hari ini kita tegaskan kembali Indonesia sebagai cita-cita bersama, cita-cita yang belum selesai. Maka hari ini kita berseru, agar bangun jiwa Indonesia, bangun badannya, dalam berbeda dan bersatu!

Jakarta, 1 Juni 2006

Dibacakan oleh berbagai tokoh nasional di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada peringatan hari Lahirnya Pancasila

This entry was posted in Indonesia. Bookmark the permalink.
  • Byline

    Michael is a professional leader in the fields of energy investments, complex commercial deals, and sustainability with extensive international experience. His personal interests span from socio-political issues, history, and culture.

  • From the Archives

    “I Love You with All My… Liver?!”

    Apabila Anda merasa aneh, geli, atau bahkan mentertawakan judul diatas, maka tertawakanlah bahasa kita sendiri. Entah sudah berapa dekade ungkapan ‘lucu’ semacam itu sebenarnya dipakai secara luas dalam bahasa Indonesia, baik sebagai ungkapan perasaan yang paling romantis, syair lagu dan puisi, sampai ke slogan-slogan pemasaran komersial.