Kronis

Bangsa Indonesia Kini Bangsa Pengeluh?!

Sebetulnya bukan sesuatu yang baru jika kita menjumpai saudara sebangsa –atau bahkan mungkin kita sendiri– merasa minder atau inferior jika berhadapan dengan bangsa asing. Entah itu berhadapan tatap muka, diplomasi politik, atau bahkan antar tatanan sosial. Sering pula kita dengar atau baca sitiran saudara sebangsa betapa corat-marut nya Indonesia ini, bahkan tak ayal sampai terlepas dari proporsi dan kian merendahkan bangsa sendiri sambil mengagungkan bangsa lain.

Mulut-mulut orang Indonesia memang seakan-akan tak bisa dibendung untuk senantiasa berkeluh kesah tentang keadaan bangsanya. Dari mulai masalah perut yang lapar sampai perihal pusar yang terbuka. Selalu ada saja yang dikeluhkan dan dipermasalahkan.

Baik memang adanya jika kita sebagai bangsa sadar akan kekurangan-kekurangan kita. Bukan saja hanya bisa melihat kesalahan orang lain atau pemerintah, tapi juga sadari kekhilafan kita sebagai masyarakat. Jangan hanya menuntut supremasi hukum tapi piranti komputer dan musik yang kita dengarkan berasal dari sumber ilegal. Jangan hanya demonstrasi tapi tidak pernah membaca materi yang diprotes. Lebih penting lagi, jangan hanya mulut berkoar menuding dan mengeluh tapi tidak berbuat apa-apa dalam kontribusi menyelesaikan masalah, apalagi sambil terus merendahkan bangsa sendiri dan menyanjung orang lain. Terlebih jika keluhan dan komentar yang kita lontarkan sering tidak sesuai konteks.

Belajarlah dari kehebatan bangsa lain dan terapkan nyata dalam kehidupan bangsa Indonesia sesuai dengan kulturnya. Menyandingkan Indonesia dengan negara maju lantas mencela segala kekurangan kita jelas mempercepat arus keluh-kesah tapi tidak memberikan solusi. Mari kita singsingkan lengan baju bekerja bersama memajukan bangsa sendiri. Lumpur yang dilihat dari menara gading akan terus terlihat lumpur, tapi jika kita terjun ke dalamnya dan bersedia kotor, maka kita bisa menumbuhkan beras yang berguna di lumpur itu. Jangan justru kita penuhi kubangan lumpur dengan ludah cacian!

Penyakit mengeluh yang kita derita sebagai bangsa sudah kronis. Ini sebenarnya jauh lebih merusak dan berbahaya ketimbang perbuatan anarkis ataupun KKN. Ketika kita tenggelam dalam arus keluh kesah tanpa beraksi nyata, kita justru menghambat penuntasan seribu masalah yang memang kita hadapi bersama. Masalah-masalah itu tidak akan sirna dengan kita hanya mengeluh.

Apakah Diponegoro dan Cut Nyak Dhien hanya mengeluh tentang kesewenangan tentara Belanda? Bayangkan jika Bung Hatta dan rekan-rekannya hanya mengeluh tentang Hindia-Belanda sambil tetap ongkang-ongkang kaki di Rotterdam. Tidak, Yos Sudarso tidak mengeluh tentang kapalnya yang bobrok ketimbang korvet Belanda, tapi dia maju terus demi bangsa. Jenderal Sudirman tidak ngedumel tentang keadaan politik di Jakarta dan penyakitnya sendiri, beliau tetap gigih berjuang. Walanda Maramis tidak melulu cerewet tentang diskriminasi tapi didirikannyalah sekolah untuk mendidik anak-anak bangsa. Kwik Kian Gie maupun Mar’ie Muhammad sadar akan kebobrokan lumpur birokrasi tapi tetap berusaha membenahi dari dalam. Pak Darno dan Bu Marsih terus berbakti mengajar entah di pelosok Nusantara sebelah mana meskipun tunjangan mereka lebih rendah dari buruh.

Sudah saatnya kita betul-betul belajar dan memahami perjuangan para pahlawan dalam artian yang sesungguhnya dan relevan. Mari kita berbuat sesuatu yang nyata bagi Indonesia dan tidak hanya mengeluh. Keluh-kesah yang terus berkoar tanpa diimbangi kerja keras bersama hanyalah merusak semangat mereka yang masih membara ingin berkontribusi nyata membangun bangsa.

Rotterdam, 25 Mei 2006,

Michael C. Putrawenas

This entry was posted in Editorial, Indonesia. Bookmark the permalink.
  • Byline

    Michael is a professional leader in the fields of energy investments, complex commercial deals, and sustainability with extensive international experience. His personal interests span from socio-political issues, history, and culture.