Oleh: Tjahjo Sasongko

Waktu yang Kita Miliki

Bila Anda berkunjung ke Taman Prasasti di bilangan Tenabang, Jakarta Pusat, cobalah hitung berapa waktu yang Anda habiskan di sana. Taman Prasasti adalah situs wisata di DKI Jakarta yang diresmikan sejak 1975. Di tempat ini terdapat prasasti dan nisan berisi nama-nama mereka yang dimakamkan di wilayah yang dulu dikenal sebagai makam Kebon Jahe Kober ini.

Di antara nama-nama besar yang dimakamkan di sini terdapat nama isteri Sir Thomas Stamford Raffles, Olivia Mariamne Raffles; Mayor Jenderal JHR Kohler, tokoh perang Acheh (1873-1904), sampai nama-nama pribumi seperti tokoh sandiwara Miss Riboet serta tokoh mahasiswa Angkatan 1966, Soe Hok Gie. Nama-nama mereka terpahat di prasasti berbagai bentuk yang juga dilengkapi dengan patung diri atau pun malaikat. Di atas prasasti, selain nama juga tercantum tahun kelahiran dan kematian. karena itu terdapat nama-nama seperti Soe Hok Gie (1942 dan 1969), Kapitein jas (1768), Olivia Mariamne Raffles (1814), Tjomme Pelt (1945) atau pun Miss Riboet (1900 dam 1965).

Semua menunjukkan waktu. Kelahiran dan kematian seperti suatu pertanda dari perjalanan masa. Seperti yang tertulis dalam salah satu prasasti yang ditulis dalam bahasa belanda kuno,”Soo Gy. Nu Syt. Ik Voor Deessen Dat. JK, Nv Ben Svlt Gy Ook Weesen.” Yang artinya,”Seperti anda sekarang, demikianlah aku sebelumnya. Seperti aku sekarang, demikianlah juga anda kelak”.

Sekali lagi semua menunjukkan makna dari perjalanan waktu. dan manusia berada di adalm pusarannya. Ijinkan saya bercerita tentang makna waktu tersebut dalam perspektif seorang teman.

Dia adalah sesorang yang sangat saya kagumi. Prestasi tinggi dengan kehidupan keluarga yang mapan dan harmonis. Lama tidak bertemu, suatu kali saya dengar ia berpisah dengan pasangan hidupnya. Sebuah keputusan yang sangat aneh bila melihat betapa lengkapnya hidupnya saaat terakhir kali kami bertemu.

Ketika kemudian kami bertemu saya memang melihat teman yang berubah. Ia bercerita tentang keinginannya meraih impian-impian dan rencana-rencana hidupnya. Ia melakukan kerjasaam dengan berbagai pihak dan bepergian ke banyak tempat. Sampai kemudian ia berbicara serius tentang masalah kehidupan keluarganya.

“Ini soal survive. Dengan ritme kehidupan seperti kemarin, mungkin gue cuma bertahan 3-4 tahun sebelum termakan penyakit. Dengan seperti ini, gue bisa mengisi hidup gue dengan lebih lepas,” kata teman saya tersebut. Ya ampun, keharmonisan yang selama ini saya lihat bersama keluarganya bagi teman saya tersebut adalah tekanan yang luar biasa. Tekanan ketika ia merasa bahkan pemanfaatan waktu hidupnya pun ditentukan oleh orang lain. Pasangan hidupnya sekali pun.

Masalahnya memang soal pemanfaatan waktu. Bersamaan dengan perjalanan waktu dan bertambahnya tanggungjawab, seringkali kita merasa betapa terbatasnya waktu yang kita miliki. Hanya dengan manajemen waktu -dan sedikit pengorbanan-, keterbatasan waktu dan pemanfaatannya dapat berjalan selaras.

Teman saya tadi memang kurang beruntung ketika ada unsur kepentingan orang lain dalam perjalanan waktu hidupnya. Namun setidaknya ia berusaha mengatasinya, sehingga tidak terperangkap ke dalam rutinitas kelas pekerja seperti digambarkan Genesis dalam lagu, “Match of the Day.” Dalam lagu tahun 1977 ini Genesis menggambarkan kondisi kelas pekerja Inggris yang tidak memiliki alternatif mengisi kesibukan selepas kerja keras selama seminggu selain dengan pertandingan sepakbola.

….. match of the day is the only way we spend our Saturday …..

16 Maret 2006, Tjahjo Sasongko / Kompas

Disadur dengan izin dari Penulis

This entry was posted in Guest Writers, History and tagged , , . Bookmark the permalink.
  • Byline

    Michael is a professional leader in the fields of energy investments, complex commercial deals, and sustainability with extensive international experience. His personal interests span from socio-political issues, history, and culture.